Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan program bioetanol sebagai campuran BBM akan dikembangkan secara masif, sebab Indonesia memiliki lahan luas untuk perkebunan tebu.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menuturkan, pengembangan bioetanol sebentar lagi memasuki tahapan pilot project untuk menghitung kualitas bahan bakar yang dihasilkan dan nilai keekonomiannya.
“Pengembangan bahan bakar nabati yang renewable dan terbukti dapat meningkatkan perekonomian rakyat kecil. Ini sesuatu yang bagus dan sudah ada contohnya di beberapa negara tropis seperti di Brasil,” katanya melalui keterangan tertulis, dikutip Minggu (16/7).
Arifin menambahkan, pengembangan jenis bahan bakar baru ramah lingkungan harus melalui serangkaian tahapan dan pengujian agar dipastikan layak digunakan masyarakat, serta bisa diproduksi secara massal.
Menurutnya, setelah pilot project baru akan ada penambahan produksi (scale up). Kemudian diuji keekonomiannya termasuk melalui free marketing. Uji coba ini untuk mengetahui respons pasar terhadap produk tersebut.
“Dan jika sudah skala besar, kita akan bangun industrinya. Pasti kita harus menuju ke sana karena kita masih punya lahan yang luas,” lanjut Arifin.
Adapun Presiden Joko Widodo telah meluncurkan program bioetanol tebu pada 4 November 2022 lalu. Peresmian ini dilaksanakan di sela kunjungan kerja di pabrik bioetanol PT Energi Agro Nusantara (Enero), Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Sementara itu, Tim Studi Bioetanol ITB telah melakukan kajian pencampuran etanol 5 persen (E5) ke dalam Pertalite (RON 90) menjadi kualitas sama dengan Pertamax (RON 92). Studi ITB tersebut konsisten dengan kajian pencampuran etanol 5 persen dengan pertalite RON 90 yang dilakukan oleh PT Pertamina.
Berdasarkan studi tersebut, potensi hilirisasi bioetanol berbasis tebu membuka peluang menciptakan ketahanan energi melalui pengurangan ketergantungan impor bahan bakar minyak nasional, sekaligus menurunkan emisi dan menciptakan potensi lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioetanol.
Hasil riset ITB tersebut juga menunjukkan Indonesia telah menghemat devisa sebesar USD 2,6 miliar dari substitusi impor diesel melalui program biodiesel kelapa sawit. Di sisi lain, laporan itu memproyeksikan Indonesia akan mengimpor hingga 35.6 juta kiloliter pada 2040 atau hampir dua kali lipat dari jumlah impor bahan bakar minyak tahun 2021.
Manfaat lain bioetanol juga adalah potensi pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 43 persen termasuk CO2, NOx dan Partikel PM2.5 dan meningkatkan bauran energi terbarukan Indonesia yang ditargetkan mencapai 23 persen pada tahun 2025.
Penurunan emisi dapat terjadi karena etanol sebagai gasohol memiliki nilai oktan sebesar (RON) 128, sehingga pencampuran dengan bensin akan meningkatkan kadar oktan dan kualitas pembakaran BBM.