Berbeda dengan rokok sigaret, cerutu lebih sedikit kontradiksinya di masyarakat. Sangat minim ’perlawanan’ masyarakat pada cerutu, ketimbang rokok sigaret. Bisa jadi dipicu proses pembuatannya yang masih hand made dengan bahan baku tembakau berkualitas terbaik hingga melambungkan harganya, dan tak memicu efek layaknya rokok sigaret.
Menikmati cerutu, mulai yang termurah hingga ’kelas sultan’, tidak bisa dilakukan seperti hisapan rokok
sigaret. Cerutu hanya bisa dinikmati sekadar di dalam rongga mulut. Meski ada varian ’lunak’ yang bisa dinikmati layaknya rokok sigaret, tetap akan terasa menyiksa jika asap cerutu melewati kerongkongan.
Mungkin itu pula yang membuat salah satu turunan akhir olahan tembakau ini masuk kategori produk
kalangan atas. Bagi penikmat rokok sigaret, tak ada nikmat-nikmatnya, karena cara menikmati sekadar ’cuci mulut’. “Mahal-mahal, kok hanya buat cuci mulut.”
Cerutu moderen, masih diproduksi dengan cara digulung tangan untuk menjaga prestise dan kualitas
produksinya. Kekuatan hand made itu hingga kini masih dipertahankan di Amerika Tengah, terutama Kuba sebagai trade mark produsen cerutu terbaik di dunia.
Pasar cerutu sendiri terbagi menjadi dua kelompok, yakni cerutu Kuba dan non-Kuba, sepeti Nikaragua, Dominika dan Honduras. Jika dulu, Kuba menjadi jawara dalam hal kualitas rasa dan harga, kini produk
non-Kuba juga mulai ’unjuk gigi’ dengan memproduksi cerutu-cerutu berkualitas tinggi berharga mahal.
Ya, cerutu memang dikenal sebagai produk bagi kalangan berduit.
Harganya ’bukan kaleng-kaleng’ jika dibanding dengan rokok sigaret kretek tangan maupun kretek mesin. Produk terbaik dan termahal adalah cerutu produksi negara-negara di kawasan Amerika Tengah.
Cuban Cigars atau cerutu produksi Kuba terkenal berkualitas pada aroma dan rasanya yang kuat.
Kontribusi cerutu bagi nyatanya bahkan mendampingi sektor pariwisata dan nikel sebagai pendapatan utama Kuba. Tak heran, Pemerintah Kuba merasa perlu menasionalisasi cerutu melalui pendirian perusahaan Cubatabaco dan Habanos S.A. Kedua perusahaan itu dikuasai negara sebagai langkah nyata pengawasan dan kontrol terhadap kualitas produk agar setiap cerutu dibuat dengan standar baik, gulungan yang rapi dan tidak cacat.
Produk cerutu asal beberapa negara di Amerika Tengah itu memiliki pasar yang luas dan terus bertumbuh, termasuk di kawasan Asia Timur. Bahkan di Tiongkok, cerutu dengan berbagai merek dan ukuran itu sudah menjadi life style kalangan ekskutif dan pebisnis.
Sayangnya, pasar cerutu dunia belum menarik minat para pengusaha Indonesia untuk menggarap dengan serius. Indonesia lebih tertarik mengekspor tembakau terbaiknya untuk dijadikan cerutu, ketimbang memproduksinya sendiri menjadi cerutu berkualitas tinggi. Kalau pun ada, produksi cerutu Indonesia sangat minim, baik dalam jumlah produksi maupun pasarnya.
Itu pun dengan bahan baku kelas ’remah’ alias sortiran sisa ekspor. Tembakau terbaik Indonesia yang
berkualitas tinggi nyaris seluruhnya untuk pasar ekspor. Kecuali PTPN X, menyisakan sebagian tembakau terbaiknya untuk produksi cigars. Tidak heran, Indonesia masih berkutat pada cerutu hasil importasi dari
negara-negara di kawasan Amerika Tengah.
Selain pasarnya yang premium, ketersediaan dan peredaran cerutu-cerutu kelas atas masih terbatas. Hanya beberapa lounge khusus cerutu, hotel, klub malam dan resto mewah yang menyediakan cerutu
premium. Sejatinya, ceruk pasar minim, tetapi bernilai premium itu, yang memacu peredaran cerutu-cerutu ilegal di Indonesia. Tak banyak ’pemain cerutu’ legal yang terdaftar resmi. Itu pun kebanyakan juga tak bisa melepaskan diri dari ’permainan’ cerutu non-resmi.
Kalangan elite, yakni para pengusaha, politisi dan pejabat pemerintahan, termasuk aparat penegak hukum hingga jurnalis menjadi pasar utama. Cerutu berfungsi sebagai sarana melakukan lobi, pertemuanpertemuan khusus pejabat dan aparat penegak hukum hingga ’upeti’ bagi atasan.
Cerutu ilegal kebanyakan masuk melalui importir berskala besar, yang mampu memasukkan boks cerutu
dalam jumlah besar dengan pelbagai ukuran. Importase cerutu berskala kecil juga ada di kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya, Medan, Bali, Yogyakarta dan Bandar Lampung. Namun, volumenya tergolong kecil berkisar 10-25 boks sekali masuk. Itupun, sering kali dilakukan melalui pelaku jasa penitipan (jastip). Sebab, pemasarannya menyasar konsumen terpercaya dan terkadang ’mendompleng’ gerai penjualan resmi. Saat pandemi mendera pada awal 2019, importasi cerutu meningkat tajam hingga lipat dua seiring penetapan pemerintah soal work from home (WFH).
Meski demikian, importir cerutu ilegal dikenal memiliki simpanan first class cigars produksi Kuba, seperti
Cohiba, Montecristo dan Partagas. Cerutu non-Kuba diantaranya Rocky Patel (Honduras) hingga Davidoff,
Arturo Fuente, Alec Bradley, AJ Fernandes (Dominika) serta Oliva (Nikaragua). Importasi cerutu ilegal masih akan terus terjadi di Indonesia mengingat pasarnya mendukung. Penetrasi pasar dilakukan melalui saluran yang terjamin keamanannya, seperti konsumen tetap atau menggandeng pihak tertentu sebagai back-up pengamanan.
Belum lagi pertimbangan soal harga. Cerutu ilegal kelas premium tentu menjadi pilihan konsumen,
karena harganya yang lebih murah ketimbang cerutu legal dengan kualitas sama akibat tanggungan beban bea masuk dan cukai. Kondisi pasar ini sebenarnya bisa menjadi peluang bagi produsen cerutu legal dalam negeri, termasuk cigars made in PTPN X.
Bahkan PTPN X sudah memproduksi cerutu papan atas yang dinamai Golden Djawa. Kini anak usaha Holding Perkebunan (BUMN) ini juga menyiapkan cerutu untuk kelas atas karena pasarnya juga bertumbuh, selain merek Golden Djawa yang notabene sudah dikenal di pasar internasional.