Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan keberhasilan diplomasi Indonesia mendorong menteri keuangan di seluruh dunia untuk terus fokus terhadap penanganan perubahan iklim.
Diplomasi itu, dia lakukan dalam Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim atau The Coalition of Finance Ministers for Climate Action. Indonesia memegang keketuaan koalisi itu selama empat tahun, yakni April 2021-2024.
“Indonesia dalam radar global sudah menunjukkan satu champion dan spirit dalam meng-address isu climate,” kata Sri Mulyani dalam acara bertajuk Climate Change and Indonesia’s Future: An Intergenerational Dialogue di Djakarta Theater, Senin (27/11/2023).
Salah satu keberhasilan kepemimpinan Indonesia yang ia sebutkan ialah berhasil mendorong menteri keuangan berbagai negara untuk masuk ke dalam koalisi itu.
Pada 2019 saat awal pembentukannya, Sri Mulyani mengatakan kurang dari 50 menteri keuangan yang masuk ke dalam koalisi itu, atau tepatnya hanya 26 menteri keuangan. Kini, jumlahnya sudah mencapai 92 menteri keuangan.
“Menteri-menteri keuangan yang enggak joint ini rasanya FOMO, fear of missing out, jadi ini bagus create pressure. Kalau kamu menteri keuangan enggak ngomong climate kamu kayaknya enggak benar-benar menteri keuangan,” tegas Sri Mulyani.
Melalui koalisi itu, dia menekankan, saat ini pembahasan perubahan iklim tidak hanya dilakukan oleh menteri-menteri yang terkait dengan lingkungan hidup, melainkan termasuk menteri keuangan, sebab kebutuhan dana atau anggaran untuk mengatasi perubahan iklim kini menjadi semakin penting.
“So we are very successful to create those feeling mainstreaming dalam climate, karena kalau dulu climate biasanya dibahas menteri-menteri bidang lingkungan hidup, environment, finance biasanya di sideline, tapi sekarang di tengah,” tuturnya.
Melalui koalisi itu, Indonesia mendorong penerapan kebijakan transisi energi melalui energy transition mechanism country platform, serta just energy transition partnership yang komitmennya telah mencapai US$ 20 miliar atau setara Rp 330 triliun, dan strategi environment and social assessment.
Selain itu juga mendorong kehadiran mekanisme harga karbon atau carbon pricing. Pada 10 tahun lalu, ia mengungkapkan, harga karbon dalam pasar karbon hanya senilai US$ 7, namun kini sudah mencapai US$ 40 secara internasional.
“Tapi antar negara beragam, saya bicara dengan Menteri Keuangan Kanada Chrystia Freeland. Di negara dia carbon market price di US$ 70, bahkan dia katakan harusnya US$ 160 untuk mencegah 1,5 derajat celcius kenaikan suhu di bumi,” ungkap Sri Mulyani.
Selain dengan kebijakan energy transition mechanism dan carbon pricing yang terus didorong, koalisi ini juga mendorong peningkatan belanja publik untuk penanganan iklim sebagai bagian dari kebijakan belanja negara yang lebih baik atau spending better policy.
Sejak 2018 sampai 2023, Indonesia telah memperoleh pendanaan melalui penerbitan global green sukuk untuk belanja mitigasi perubahan iklim sebesar US$ 5 miliar, dan melalui retail domestic green sukuk senilai Rp 21,8 triliun sejak 2019 sampai 2022.